Misteri Keturunan Sentot Ali Basha di Jantung Payakumbuh

Payakumbuh, sebuah kota yang kental dengan adat dan budaya Minangkabau, ternyata menyimpan lapisan sejarah yang kurang terkuak. Di balik kemegahan rumah gadang dan lancarnya ciloteh (obrolan) berdialek setempat, tersimpan kisah jejak keturunan Jawa, tepatnya dari barisan Panglima Perang legendaris Sentot Ali Basha Prawirodirdjo. Pertanyaan mengenai apakah benar Payakumbuh dibangun oleh keturunan Temenggung Kertowongso, salah satu perwira Sentot, kini menemukan jawabannya melalui catatan sejarah yang detail.

Kisah ini berawal dari keingintahuan seorang kolektor berita koran zaman Belanda, Afriwarman Dt. Nagari Basa, yang menanyakan kebenaran nama 2de Luitenant Kertowongso yang tercantum dalam Javasche Courant edisi 15 November 1834. Ia juga mencari tahu hubungan antara Kertowongso dengan Mas Prawiro Dimedjo alias Karah.

Pertanyaan tersebut ditujukan kepada Mak Saiful Guci Dt. Rajo Sampono, seorang pemerhati sejarah lokal yang memiliki arsip data penting.

Saiful Guci kemudian mengonfirmasi bahwa ia memiliki Stambook atau catatan silsilah lengkap anak keturunan Temenggung Kertowongso hingga generasi kedelapan. Catatan berharga ini, yang ia peroleh dari almarhum Ashar Syarif pada tahun 2004, memuat keterangan mengenai asal usul kaum Famili Sentot Alibasyah yang menetap di Sumatera Barat.

Di Kota Payakumbuh sendiri, keberadaan keturunan Temenggung Kertowongso ditandai dengan sebutan "Kampung Jawa" yang tercatat dalam peta tahun 1915. Area ini membentang dari Labuah Baru (sekitar Masjid Muslimin Pasar Kabau), melewati Masjid Ansyarullah, bekas Rumah Sakit Yarsi (dahulu Gereja dan Rumah dr. M. Anas), hingga Simpang Bunian Jalan Tan Malaka. Mereka berada di bawah pimpinan Temenggung Kertowongso, yang keturunannya masih dikenal dengan sebutan Datuak Tumangguang hingga kini.

Kedatangan rombongan orang Jawa ke ranah Minang, khususnya Payakumbuh, terjadi sekitar tahun 1832. Mereka adalah bantuan militer yang dikirim oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch untuk memperkuat pasukan Belanda dalam memerangi pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Sebanyak hampir 1.500 jiwa atau sekitar 400 Kepala Keluarga (KK) dibawa ke Sumatera Barat di bawah komando Raden Alibasyah Abdul Mostapa Inawilo Dirdjo, alias Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.

Ashar Syarif, sumber dari Stambook tersebut, menegaskan bahwa tidak berlebihan jika mayoritas keturunan Jawa yang masih tersisa di Payakumbuh dan kota-kota lain—yang dicirikan dengan adanya nama Kampung Jawa—berasal dari pasukan beserta keluarga yang dibawa oleh Sentot Alibasyah. Ia menyampaikan data ini sambil menunjukkan gulungan kertas sebesar papan triplek yang berisi catatan silsilah tersebut.

Menurut penuturan orang tua-tua di sana, nenek moyang mereka berasal dari Jawa, keturunan Temenggung Kertowongso, yang membantu Belanda di bawah pimpinan Sentot Alibasyah. Mereka awalnya membangun sebuah benteng di pinggir Batang Agam sebelum kemudian mendirikan Kampung Jawa. Salah satu tokoh penting yang disebut adalah Wongso Sentono (dikenal sebagai Agus Abdullah), saudara dari Kartowongso (Agus Ibrahim) dan Warido Prawirodirjo.

Sentot Prawirodirdjo, yang juga dikenal sebagai Sentot Ali Pasha, adalah panglima perang Perang Diponegoro. Gelar Ali Pasha, yang berarti Panglima Tinggi, konon didapatkannya dari kerajaan Turki setelah ia belajar ilmu kemiliteran di sana. Rasa dendam kepada Belanda akibat terbunuhnya sang ayah, Ronggo Prawirodirjo, mendorong Sentot bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Namun, perjuangan Sentot harus berakhir pada tahun 1829, ketika ia dibujuk Belanda untuk meletakkan senjata. Ironisnya, ia kemudian dikirim ke Sumatera Barat untuk melawan Perang Padri. Di Minangkabau, Sentot bertemu Tuanku Imam Bonjol, dan pada titik inilah Sentot Ali Basha menunjukkan loyalitas yang lain.

Sentot membelot, mengalihkan strateginya untuk mendapatkan persenjataan dari Belanda dan menggunakannya untuk membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Pengkhianatan monumental ini segera diketahui Belanda, yang kemudian buru-buru menangkap dan membuangnya ke Bengkulu pada tahun 1833. Sentot tidak pernah kembali ke Jawa hingga meninggal pada tahun 1855.

Meskipun Sentot dibuang, keturunan pasukannya melalui jalur patrilineal (karena menikahi perempuan Minang) tetap melanjutkan hidup di Sumatera Barat. Keturunan Pasukan Sentot Alibasyah di Payakumbuh dan wilayah sekitarnya membentuk paguyuban bernama "Kerto Wongso," yang tersebar hingga generasi kedelapan dan melahirkan tokoh-tokoh penting di berbagai bidang, mulai dari politik, pendidikan, hingga pemerintahan.

Stambook yang ditunjukkan Saiful Guci mencantumkan tiga Temenggung utama yang dibawa Sentot: Temenggung Ponco Negoro, Temenggung Kerto Wongso, dan Temenggung Bromto. Fokus utama cerita terletak pada Temenggung Kerto Wongso dan istrinya, Den Ajeng Soemijah, yang menetap di Payakumbuh dan memiliki sebelas orang anak.

Salah satu anak Kertowongso, Mas Ajeng Sakinam, menikah dengan Mas Wahidin alias Mas Wongso Dewirijo, seorang Mantri Kopi yang mendapatkan bintang perak besar tahun 1875. Pasangan ini dimakamkan di Bunian, Payakumbuh, dan keturunan merekalah yang kemudian malakok atau membaur ke dalam suku Koto Nan Gadang.

Dari sebelas keturunan Sakinam dan Mas Wongso Dewirijo, muncul nama-nama yang memainkan peran penting di masa kolonial, seperti Karah alias Prawiro Dimejo, yang dikenal sebagai Temenggung Agus Karah, seorang Mantri Kopi yang turut serta membuka jalan Payakumbuh-Pangkalan Koto Baru.

Namun, nama yang paling menonjol dalam sejarah politik adalah dr. Mohamad Anas, cucu dari Sadina (putri Sakinam) dan Djamin Kerawang. Dr. M. Anas, seorang dokter yang pernah menempuh pendidikan di Belanda, menjadi pendukung utama pembentukan Negara Minangkabau di bawah naungan Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.

Catatan koran De Locomotief edisi 26 Juni 1949 mencatat audiensi dr. Anas sebagai ketua Komite Dewan Perwakilan Padang kepada Wakil Tertinggi Mahkota Kerajaan Belanda (HVK) H.M.J. Lovink, yang mengusulkan pembentukan dewan untuk Padang dan dataran rendah sekitarnya. Ini menunjukkan keterbelahan kelompok masyarakat Minang pada masa itu, antara pendukung Soekarno dan pendukung negara federal di bawah Belanda.

Setelah gagalnya aksi militer Belanda merebut kembali Indonesia, dr. M. Anas dan istrinya, Djoeasa Anas, hijrah dan menetap di Belanda, menunjukkan bagaimana keturunan pasukan Sentot ini terlibat langsung dalam pusaran politik akhir revolusi Indonesia.

Selain dr. M. Anas, keturunan Kertowongso lainnya juga sukses mengisi posisi strategis di pemerintahan kolonial Belanda, seperti Thaib Gelar Sutan Bandaro, yang merupakan Demang Payakumbuh dan dikenal karena membangun rumah bersejarah yang pernah dijadikan kantor bupati dan pengadilan di Simpang Bunian. Ia adalah anak dari Kiyam, putri Kertowongso.

Ada pula kisah Warido alias Mas Prawirodirjo, anak dari M.A. Tawijah (putri Kertowongso), yang bekerja setia pada Dinas Budidaya Kopi Belanda. Warido tewas terbunuh di Kamang pada Pemberontakan Pajak tahun 1908 karena menyokong pemerintah kolonial. Kisah hidup dan kematiannya menjadi simbol dilema keturunan Sentot Ali Basha yang berada di antara dua kepentingan.

Secara keseluruhan, catatan Stambook menegaskan bahwa pada awal kemerdekaan, empat dari delapan demang di Sumatera Barat adalah anak cucu keturunan Sentot Ali Basyah ini. Hal ini membuktikan bahwa kelompok keturunan Jawa yang dipimpin Temenggung Kertowongso memiliki peran signifikan dalam struktur pemerintahan dan pembangunan infrastruktur di Payakumbuh dan sekitarnya, mulai dari Mantri Kopi hingga jabatan Demang.
Dengan demikian, klaim bahwa keturunan Kertowongso, yang merupakan bagian dari barisan Sentot Ali Basha, adalah pembangun awal kota Payakumbuh dan sekitarnya, menemukan dasar yang kuat dalam arsip dan catatan silsilah ini.

Kisah jejak Sentot Ali Basha melalui Temenggung Kertowongso ini tidak hanya mengisi kekosongan sejarah, tetapi juga memperkaya narasi keberagaman etnis di Sumatera Barat.

Warisan "Kampung Jawa" dan keberadaan kuburan di Bunian menjadi saksi bisu, bahwa Payakumbuh merupakan pertemuan budaya, yang salah satu pondasinya diletakkan oleh para perwira Jawa di bawah komando sang Panglima yang dibuang, Sentot Ali Basha.

Penelitian sejarah ini, yang diungkapkan oleh H. Saiful SP, memberikan perspektif baru tentang akar Payakumbuh, memperlihatkan bahwa sejarah sebuah kota seringkali jauh lebih kompleks dan berlapis dari yang terlihat di permukaan.

Posting Komentar

0 Komentar