Jejak Awal Islam di Mentawai, Siberut dll


Sejarah Islam di pulau-pulau barat Sumatera tidak bisa dilepaskan dari jalur perdagangan kuno yang telah lama menghubungkan nusantara dengan Timur Tengah. Wilayah seperti Nias di Sumatera Utara dan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat menjadi bagian penting dari simpul-simpul maritim yang disinggahi para pedagang Muslim, bersamaan dengan perkembangan Islam di Sumatera. Hubungan dagang yang intens antara Arab, India, dan wilayah pesisir Sumatera bagian barat telah membuka jalan bagi penyebaran agama Islam secara perlahan.

Pulau Nias telah mengenal Islam sejak awal karena kedekatannya dengan Barus yang ditetapkan sebagai Titik Nol Islam di Nusantara, pelabuhan tua yang dikenal dalam manuskrip Timur Tengah sebagai pusat perdagangan kamper dan kapur barus. Beberapa sejarawan Arab mencatat bahwa Nias, termasuk oulau-pulau sekitarnya, termasuk bagian dari “wilayah Barus” yang makmur dan memiliki hubungan maritim dengan bangsa Arab sejak abad ke-9. Tidak heran bila kemudian Islam mulai tumbuh di Nias melalui jalur dagang dan pernikahan dengan pedagang Arab dan Melayu sampai pada era Kesultanan Aceh.

Sementara itu, Kepulauan Mentawai mengalami dinamika sejarah yang sama karena menjadi jalur pelayaran. Pergeseran jalur pelayaran ke Selat Malaka pada era mesin uap perlahan Mentawai semakin jauh dari keramaian. 

Letaknya yang lebih terpencil dan sulit dijangkau para dai mengakibatkan dakwah di Mentawai berjalan lambat dan sering terputus. Namun bukan berarti tidak ada jejak keislaman di sana. Justru, para pelaut Bugis, Bajau, dan Minang dari Pariaman sudah lebih dahulu melintasi dan menetap sementara di kawasan Mentawai dalam pelayaran mereka, menyebarkan benih-benih ajaran Islam kepada penduduk lokal.

Dalam catatan lisan yang masih hidup di sebagian masyarakat pesisir Sumatera Barat, disebutkan bahwa lautan Mentawai pernah berada di bawah pengaruh seorang panglima laut dari Pariaman yang dijuluki Panglima Mentawe. Ia adalah bagian dari struktur pertahanan laut pada masa Sidi Mara, sosok bangsawan keturunan ulama yang berperan dalam konsolidasi kekuatan Islam di pesisir barat Minangkabau. Dari sini, pengaruh Islam menjalar ke pulau-pulau terluar seperti Pagai, Sipora, dan Siberut.

Banyak tokoh dakwah Islam berpengaruh sepanjang sejarah Mentawai namun tak terdokumentasikan, khususnya keturunan Bugis, Bajau dan Minang.

Salah satu yang terkenal dan masih diingat adalah tokoh pendidikan sekaligus dai bernama Baharuddin datang ke Sipora pada sekitar tahun 1948. Baharuddin, yang berasal dari Sialang, Limapuluh Kota, dikirim sebagai guru agama ke Saurenu. Dengan kapal layar dan perjalanan penuh tantangan, ia menembus hutan dan sungai untuk sampai ke pedalaman Saurenu. Kehadirannya menjadi titik balik sejarah Islam di Mentawai modern.

Sebagai seorang guru yang santun dan sabar, Baharuddin tak hanya mengajarkan baca tulis, tapi juga memperkuat akidah Islam kepada masyarakat yang telah lama tak belajar Islam dan di antaranya masih memegang erat kepercayaan arat sabulungan. Perlahan namun pasti, Saurenu mulai berubah. Masyarakat yang dulu membungkus jenazah dengan kulit kayu mulai mengenal kafan dan tata cara pemakaman Islam. Tradisi doa, salat, dan zakat mulai menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Sayangnya, ketika Baharuddin harus kembali ke kampung halamannya karena urusan keluarga dan pergolakan politik di masa PRRI, dakwah Islam di Saurenu sempat surut. Misi keagamaan dari luar negeri yang datang kemudian membuat sebagian warga berpindah keyakinan. Namun, sebagian tetap bertahan, dan mereka kemudian membentuk komunitas baru di Matobe, yang menjadi pusat baru perkembangan Islam di Pulau Sipora.

Masjid Nurul Yakin Matobe menjadi monumen sejarah dakwah Islam di sana. Masjid ini didirikan dengan susah payah, awalnya hanya berdinding kulit kayu dan berlantai papan. Namun dari masjid inilah Baharuddin melanjutkan dakwahnya setelah kembali ke Mentawai. Ia menjadi imam tetap hingga akhir hayatnya, dan dikenang sebagai pendiri komunitas Muslim tangguh di Matobe.

Hingga kini, Matobe dikenal sebagai desa Muslim yang taat beragama di tengah masyarakat Mentawai. Keberhasilan Islam bertahan di sana tidak lepas dari metode dakwah lemah lembut dan keteladanan para pendakwah seperti Baharuddin. Ia mengajarkan Islam bukan dengan debat, tapi dengan cinta, pendidikan, dan kerja nyata seperti bertani dan hidup bersama masyarakat.

Pulau Nias juga memiliki kisah serupa, walau proses Islamisasi di sana berjalan lebih awal dan lebih menyeluruh karena pengaruh langsung dari Barus dan Aceh. Para ulama dari pesisir barat Sumatera dan bahkan dari Mandailing sering berlayar ke Nias untuk berdakwah. Hingga kini, komunitas Muslim di Nias tetap eksis dan berkembang dan telah memiliki sekolah tinggi agama Islam. Diharapkan di Mentawai juga segera dibangun STAI khususnya di Islamic Center Mentawai.

Kisah Nias dan Mentawai menunjukkan bahwa Islam bisa tumbuh di mana saja, termasuk di kepulauan terpencil, selama dakwah dilakukan dengan keteladanan, cinta, dan keikhlasan. Pengalaman panjang pulau-pulau ini menjadi pelajaran berharga bahwa jalur laut dan perdagangan bukan hanya sarana ekonomi, tapi juga wahana peradaban.

Melihat jejak Islam di Nias dan Mentawai, sudah sepantasnya sejarah ini diangkat dalam narasi besar penyebaran Islam di Nusantara. Bahwa Islam tidak hanya menyebar lewat kerajaan, tetapi juga lewat guru-guru sederhana, pelaut tangguh, dan semangat berdakwah yang tulus. Jejak mereka perlu dikenang, ditulis, dan dijadikan inspirasi generasi kini.

Masjid-masjid tua di Mentawai dan Nias, seperti Nurul Yakin di Matobe dan masjid-masjid kecil di pesisir Nias, adalah bukti bahwa cahaya Islam pernah menyala dari tangan-tangan perintis yang tanpa pamrih. Mereka bukan raja, bukan jenderal, tapi guru dan petani yang mengabdikan diri demi kemuliaan Islam di tanah yang jauh dari keramaian.

Kini, dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti rumah tahfiz di Siberut, semangat itu terus berlanjut. Mentawai dan Nias bukan wilayah terlupakan, tapi bagian dari simpul sejarah Islam Indonesia yang patut dihargai dan diperkuat lagi. Dari lautan barat Sumatera, Islam tumbuh dalam sunyi, namun akarnya menancap kuat dalam iman.


Posting Komentar

0 Komentar